Kamis, 24 Juli 2014

Pemilu di Indonesia


PEMILIHAN UMUM
 
Pemilu adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR,DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi rakyat
berdasarkan asas langsung,umum,bebas,rahasia,jujur dan adil serta menjamin prinsip-prinsip keterwakilan, akuntabilitas dan legitimasi.

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia
pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga PILPRES pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004. pada 2007, berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum. Ditengah masyarakat, istilah “PEMILU” lebih sering merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan lima tahun sekali.

Pemilihan Umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan Umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui Pemilihan Umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat duduk dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.

Partai politik dalam negara Republik Indonesia pada satu sisi berperan sebagai saluran utama untuk memperjuankan kehendak masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai amanat reformasi kualitas penyelenggaraan pemilu harus ditingkatkan agar lebih menjamin kompetisi yang sehat, partisipasif yang dinamis, derajat keterwakilan yang lebih tinggi dan mekanisme serta pertanggungjawaban yang jelas.

Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).



Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pemilihan umum yang bisa memberikan kontribusi bagi sistem politik yang demokratis, dan efektif yang sedang giat-giatnya dilaksanakan adalah sistem proses pemilihan umum yang LUBER.

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas “Luber” yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”.

  • Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
  •  Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warganegara yang sudah berumu 21 (dua puluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial;
  • Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;
  • Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. pemilih dijamin bahwa pilihanya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun


Kemudian di era reformasi berkembang pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”.

  • Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggara/ pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
  • Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.



Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab.

Pengertian dan hakekat di atas dapat dipahami bahwa tujuan diselenggarakannya pemilu adalah adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis,kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasinaonl.

Disepakati bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun demokratis. Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan.

  1. Pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak –hak politik yang sama  dan dijamin oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat. Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai  politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya.
  2. Pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan  secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut.
  3. Pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.
  4. Pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan  yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.
  5. Penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian kursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangat menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.


Sistem Pemilihan Umum

Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan Sepuluh kali pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.

1. Sistem Pemilihan Umum Distrik

Sistem distrik biasa disebut juga single member constituency tetapi ada juga yang memakai istilah single member district untuk menyebut sistem ini. Pada intinya, sistem distrik merupakan sistem pemilihan dimana suatu negara dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah wakil rakyat yang akan dipilih dalam sebuah lembaga perwakilan.

Dengan demikian, satu distrik akan menghasilkan satu wakil rakyat. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak di suatu distrik, maka akan menjadi wakil rakyat terpilih. Sedangkan kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit, maka suaranya tidak akan di perhitungkan atau dianggap hilang walau sekecil apapun selisih perolehan suara yang ada. Sehingga dikenal istilah the winner takes all.

Kelebihan dari sistem distrik adalah :

  1. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai.
  2. Wakil adalah tokoh yang dikenal pemilih.
  3. Partai lebih mudah mencapai kedudukan mayoritas.
  4. Sistem ini sederhana, ekonomis dan mudah untuk diselenggarakan

Sistem ini memiliki kelemahan sebagai berikut :

  1. Sistem ini kurang memperhatikan partai kecil.
  2. Banyak suara hilang
  3. Kurang efektif dalam masyarakat yang plural
  4. wakil terlalu berorentasi pada daerah pemilih.


2. Sistem Pemilihan Umum Proporsional

Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitu pun sebaliknya.

Sistem proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh partai politik tersebut. Karena adanya perimbangan antara jumlah suara dengan kursi, maka di Indonesia dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP merefleksikan jumlah suara yang menjadi batas diperolehnya kursi di suatu daerah pemilihan. Partai politik dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu kandidat karena kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu.
Sistem proposional (multi member constituency) adalah sistem pemilihan umum, dimana wilayah negara atau wilayah pemilihan dibagi – bagi dalam daerah – daerah pemilihan yang dikenal dengan singkatan dapil, dimana tiap – tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk dalam perwakilan lebih dari satu orang wakil.



Kelebihan sistem proposional :

  1. Sistem proposional dianggap representatif
  2. Sistem proposional dianggap lebih demokratis

Kelemahan sistem proposional :

  1. Sulit terjadinya intergrasi partai,karna partai cenderung bertambah
  2. kader partai sulit berkembang,karena penentuan calon jadi didasarkan nomor urut.
  3. wakil terpilih belum tentu orang dikenal pemilih secara baik.karena banyak partai sulit mendapatkan suara mayoritas.
3. Sistem Pemilihan Umum Campuran (Gabungan Distrik dan Proporsional)

Sistem gabungan antara distrik dan proporsional dan setengah dari anggota Parlemen dipilih melalui sistem distrik dan setengahnya lagi dipilih melalui sistem proporsional. Sehingga adanya keterwakilan sekaligus ada kesatuan geografis.


Dalam Undang-undang No 10 Tahun 2008 besaran Parliamentary Threshold (PT) sebesar 2,5 persen, kini bertambah menjadi 3,5 persen. Sistem pemilu terbuka tetap dipertahankan, kuota kursi per dapil dan sistem penghitungan pun tidak ada yang berubah dengan Pemilu 2009.

Penghitungan kursi metode kuota murni adalah penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota parpol peserta pemilu didasari atas penghitungan seluruh suara sah dari setiap partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan ambang batas parlemen di daerah pemilihan yang bersangkutan

Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud ditetapkan angka BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) DPR, BPP DPRD Provinsi dan Kabupaten/ kota.

Sedangkan penghitungan kursi metode divisor webster adalah penghitungan suara perolehan kursi setiap partai politik pada perolehan suara tertinggi di daerah pemilihan yang bersangkutan sampai habis alokasi kursi dengan bilangan pembagi dengan angka ganjil.